Selasa, 19 April 2011

Tugas Perekonomian Indonesia (tulisan)


 MAKALAH SOSIAL POLITIK

Mata Kuliah : Sosial Politik
Dosen  : Muhammad Burhan Amin
Topik Makalah

Masalah Sosial Sebagai Inspirasi (kasus kemiskinan) dan Upaya Pemecahannya
Kelas   : 1EB17
Deadline Makalah : 16 April 2011
Tanggal Penyerahan / Upload Makalah : 16 April 2011
PERNYATAAN
Dengan ini kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam penyusunan makalah ini saya buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim/pihak lain.
Apabila terbukti tidak benar, saya siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini.
PENYUSUN
NPM
NAMA
TANDA TANGAN
28210778
Yuniar Frida Susanti

Program Sarjana Ekonomi Akuntansi
Universitas Gunadarma

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT  karena berkat rahmatnya penyusunan makalah dengan judul “Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan) Dan Upaya Pencegahannya “ ini dapat diselesaikan dengan lancar  dan berkat rahmatnya pula saya diberi ilmu untuk mempelajari peranan budaya tersebut, terimakasih saya ucapkan kepada pihak – pihak yang telah membantu saya dalam pengerjaan tugas makalah ini. Karena tanpa bantuan dari mereka tugas ini pun tidak akan terselesaikan seperti apa yang ada sekarang.
            Di Indonesia masalah sosial terutama (kasus kemiskinan) sudah tidak asing lagi. Kini kasus kemiskinan bukan masalah kecil yang dikesampingkan, justru masalah ini sudah menjadi hal yang besar yang harus cepat diselesaikan agar kehidupan masyarakat menjadi lebih makmur.
            Tak lupa saya selaku penulis mengucapkan maaf yang sebesar – besarnya apa bila masih ada kekurangan yang terdapat dalam tugas makalah ini. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa saya terima dengan hati yang terbuka. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi kepada halayak, terutama bermanfaat untuk saya sendiri terimakasih.

Bekasi, 16 April 2011

Penulis




DAFTAR ISI

Surat Pernyataan ....................................................................................................... ii
Kata Pengantar .......................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................... iv
BAB 1
Pendahuluan .............................................................................................................. 1-2
BAB 2 PERMASALAHAN :
1.      Intensitas dan Kompleksitas Masalah............................................................. 3-6

2.      Latar Belakang Masalah.................................................................................. 7-9

3.      Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat..................................................... 10-11


3.1. Mengembangkan Sistem Sosial yang Responsif..................................... 12

3.2. Pemanfaatan Modal Sosial ..................................................................... 13

3.3. Pemanfaatan insitusi Sosial..................................................................... 14

3.3.a. Organisasi Masyarakat................................................................... 14

3.3.b. Organisasi Swasta.......................................................................... 14

3.3.c. Optimalasisasi Kontribusi dalam Pelayanan Masyarakat............... 15

3.3.d. Kerjasama dan Jaringan................................................................. 15

4.      Upaya penanganan Masalah............................................................................ 16

BAB 3

Kesimpulan ............................................................................................................... 17

BAB 4

Penutup dan Referensi............................................................................................... 18




 
BAB 1
PENDAHULUAN
            Salah satu contoh masalah sosial ialah kemiskinan dalam masyarakat. Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal secara umum seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum. Hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah negara berkembang biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin.
Kemiskinan selalu terpusat di tempat yang terpencil seperti di pedesaan atau di daerah-daerah yang kekurangan sumber daya. Persoalan kemiskinan juga selalu berkaitan dengan masalah lain seperti lingkungan. Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok tertentu, kum wanita pada umumnya merupakan pihak yang dirugikan. Dalam rumah tangga di keluarga miskin, mereka sering merupakan pihak yang menanggung beban kerja yang lebih berat dari pada kaum pria. Demikian pula dengan anak-anak, mereka juga menderita akibat adannya kemiskinan tersebut dan kualitas masa depan mereka terancam karena kurangan biaya, tidak tercukupinya gizi, pemeratan kesehatan dan pendidikan yang tidak tercangkau. Selain itu timbulnya kemiskinan sangat sering terjadi pada kelompok minoritas tertentu.
            Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Kemiskinan merupakan masalah yang selalu ada pada setiap Negara. Permasalahan kemiskinan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang saja, bahkan di negara maju juga mempunyai masalah dengan kemiskinan. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang rumit, walaupun fakta menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di negara berkembang jauh lebih besar dibanding dengan negara maju. Hal ini dikarenakan negara berkembang pada umumnya masih mengalami persoalan keterbelakangan hampir di segala bidang, seperti : kapital, teknologi, kurangnya akses-akses ke sektor ekonomi, dan lain sebagainya.
Dengan melihat dari sisi negara berkembang salah satunya adalah Negara Indonesia, percapaian pembangunan manusia di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina.  Dalam laporan pembangunan manusia (Human development Report 2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat menengah dalam pembangunan manusia global (Medium Human Development) dengan peringkat ke-110 dari 177 negara. Negara Indonesia yang pada saat ini masih berada pada tahap pemulihan restrukturisasi di bidang ekonomi dan juga perubahan-perubahan di bidang sosial politik. Dalam proses ini tidak dapat dihindari semakin meluasnya kesenjangan antarkelompok, juga antar daerah yang kaya dan daerah miskin, terutama kesenjangan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tentang masalah kemiskinan.
Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang.
Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak Ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi sebesar 17,4 persen dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (Keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

       
BAB II
PEMBAHASAN
1.        Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Kata “kemiskinan” di definisikan bermacam-macam oleh setiap orang. Jelas bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana orang tidak mempunyai cukup pendapatan, namun sulit untuk menentukan batas yang tepat antara orang miskin dan tidak miskin. Oleh karena itu, para ekonom telah memikirkan beberapa teknik yang memberikan definisi resmi mengenai kemiskinan. Para ekonom mendefinisikan kemiskinan sebagai tingkat pendapatan di bawah perkiraan biaya hidup pada tingkat subsisten/minimum. Perkiraan biaya kebutuhan hidup pada tingkat minimum ini biasa disebut dengan ”garis kemiskinan” (poverty threshold) atau batasan antara orang miskin dan tidak miskin menurut pemerintah. Garis kemiskinan juga berbeda menurut ukuran keluarga dan terus disesuaikan dengan indeks harga konsumen untuk menunjukkan perubahan biaya hidup.
Berdasarkan terminologi, kemiskinan sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullah) bagi kehidupan manusia yang pasti terjadi, yang mampu dilakukan oleh manusia hanyalah meminimalisir tingkat kemiskinan tersebut bukan menghapuskannya dari dunia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran, “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (An-Nahl: 71). Dalam terminologi lain dikatakan kemiskinan mulai terjadi ketika peradaban manusia mulai mengenal aktivitas ekonomi yang diukur dalam satuan nilai.
Kemiskinan terjadi karena terjadinya ketidakmerataan pendapatan yang diterima pada tiap individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan pendapatan ini dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya:
(1) Kemampuan dan keahlian yang berbeda,
(2) Intensitas kerja orang yang satu dengan lainnya beragam,
(3) Perbedaan antar jabatan (okupasi),
(4) Perbedaan tingkat pendidikan,
(5) Faktor-faktor lain seperti, warisan, tabungan dan pengambilan resiko, dan wiraswasta (entrepreneurship).



A.1.  Dimensi Kemiskinan di Indonesia
Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia:
-          Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan.
-          Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
-          Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Belajar dari sejarah pengentasan kemiskinan di Indonesia, terdapat tiga cara untuk mengentaskan kemiskinan. Tiga cara untuk membantu mengangkat diri dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan masyarakat, dan pengeluaran pemerintah. Masing-masing cara tersebut menangani minimal satu dari tiga ciri utama kemiskinan di Indonesia, yaitu :
-          Kerentanan
-          Sifat multi-dimensi
-          Keragaman antar daerah
Dengan kata lain, strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen:
1. Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Pertumbuhan ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.
-          Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan-baik dalam konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah.
-          Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.
2. Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia.
-          Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses kepemerintahan.
-          Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.
3. Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan).
-          Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi.
-          Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiskal yang ada di Indonesia saat kini.
Pemerintah sebagai pemegang kendali tertinggi atas jalannya sebuah pemerintahan harus berusaha keras dalam usaha mengurangi kemiskinan dengan jalan redistribusi pendapatan baik melalui transfer, subsidies, atau policy (seperti program tunjangan pendapatan, insentif bagi warga miskin, regulasi ekonomi, atau pajak). Semua ini dikerjakan sesuai dengan skala prioritas pemecahan permasalahan yang terjadi dan kemampuan pembiayaan negara.


Namun masyarakat juga harus ikut berperan serta dalam usaha mengurangi kemiskinan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:
-          Memberikan pinjaman dari orang yang memiliki kekayaan lebih pada orang yang belum mampu untuk modal usaha,
-          Memberikan sodaqah atau hibah atau bantuan pada orang lain yang membutuhkan.
Dalam konteks personal, tiap individulah yang bertanggungjawab atas pencapaian  dan keadaan hidup mereka masing-masing. Akan tetapi yang lebih bertanggungjawab    dalam konteks kenegaraan tentu saja yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara yang dianggap mampu melakukan tindakan yang diperlukan dalam mewujudkan kesejahteraan negara.

1.      Latar Belakang Masalah

Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara. Secara konstitusional, permasalahan dimaksud telah dijadikan perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai masalah yang menjadi isu global disetiap Negara berkembang. Wacana kemiskinan dan pemberantasannya haruslah menjadi agenda wajib bagi para pemerintah dan pemimpin Negara. Peran serta pekerja sosial dalam menangani permasalahan kemiskinan sangat diperlukan, terlebih dalam memberikan masukkan (input) dan melakukan perencanaan strategis (strategic planning) tenteng apa yang akan menjadi suatu kebijakan dari pemerintah.
Kemiskinan merupakanmasalah global, sering kali dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan dibidang ekonomi. Kemiskinan di Indonesia meliputi kemiskinan yang bersifat relatif (Relative Poverty) dan yang bersifat absolut (Absolut Poverty). Kemiskinan absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang ada di bawah itu kebutuhannya minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Sedangkan kemiskinan relative adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio garis kemiskinan absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang.
Penyebab kemiskinan secara tidak langsung menjadi standar global :

1.         Kemiskinan kebudayaan, hal ini biasanya terjadi disebabkan karena adanya kesalahan pada subjeknya. Misalnya : malas, tidak percaya diri, gengsi, tak memiliki jiwa wirausaha yang kompatibel, tidak mempunyai kemampuan dan keahlian.

2.         Kemiskinan struktural, hal ini biasanya terjadi karena disebabkan oleh faktor eksternal yang melatar belakangi kemiskinan. Faktor eksternal itu biasanya disebabkan kinerja dari pemerintah diantarannya : pemerintah yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit.
Penyebab kemiskinan dikaitkan dengan :

1.         Penyebab individual atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin, dan penyebab keluarga.
2.         Penyebab sub-budaya (subcultural) yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar, penyebab agensi yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain termasuk perang pemerintah.
3.         Penyebab struktural yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial. Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang di istilahkan sebagai pekerja miskin yaitu orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
Faktor-faktor penyebab kemiskinan, disamping faktor-faktor kondisi alam dan geografis juga disebabkan oleh faktor-faktor ketidak adilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut Kemiskinan Struktural (Struktural Poverty) baik pada tatanan negara ataupun internasional. Kemiskinan Struktural dapat dijelaskan dengan fenomena-fenomena urban bias, proletarianization serta yang terakhir dapat dijelaskan pula oleh fenomena environmental destruction. Kemiskinan tersebar pula dengan pola yang terstruktur mulai dari remote area, rural area, sub-urban area, dan urban.
Beberapa koreksi dari para ahli bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini tercermin dari konsentrasi industralisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan.
Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigma) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi kapital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson,1997,Suharto 2002). Secara umum pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada individu poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolak ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).


Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosialyang lebih menekan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.

3.         Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat

Tahun 2003 dilaksanakan uji coba model rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) terhadap penyandang cacat (Penca). RBM adalah sistem pelayanan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Gambaran riil di lapangan pelaksanaan uji coba ini model ini dimungkinkan dapat berfungsi sebagai informasi bagi policy maker dalam penyempurnaan program yang akan datang dan informasi bagi Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pelayanan sosial Penca. Pengembangan pelayanan RBM ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pelayanan bagi Penca khususnya yang berada di pelosok perdesaan. Hal ini didasarkan perkiraan WHO, bahwa jumlah penca sebanyak 10% dari populasi penduduk Indonesia, dimana 65,5% tinggal di desa. Pengembangan sistem pelayanan ini didasari atas pertimbangan bahwa sejak lama pada masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya di pedesaan telah tumbuh dan berkembang nilai budaya saling menolong dan saling membantu ketika ada warga yang sedang ditimpa musibah, sedang hajatan dan lain sebagainya. Nilai budaya seperti itu dimungkinkan untuk dikembangkan guna mengatasi berbagai permasalahan sosial dan khususnya masalah sosial Penca yang ada di masyarakat.
Salah satu lokasi pelaksanaan uji coba model adalah Desa Aikmual yang merupakan salah satu dari 14 desa dan kelurahan di wilayah Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang jumlah penduduknya: 2.135 KK (9.888 jiwa : 4.595 jiwa laki-laki dan 4.893 jiwa perempuan) dan luas wilayah 8,98 km2. Di desa tersebut terdapat 54 orang Penca (cacat tubuh : 33 orang, cacat netra : 9 orang, cacat mental : 3 orang, cacat mental (Psikotik/Gila) : 2 orang, tuna wicara : 5 orang; dan penyakit kronis (TB Paru : 2 orang serta  kusta : 1 orang). Dilihat dari sisi kecacatan : terdapat 11 orang cacat berat, 35 orang cacat sedang, dan 8 orang cacat ringan. Sedangkan dari tingkat pendidikan: tamat SMA 2 orang, tamat SMP 4 orang, tidak tamat SMP 3 orang, tamat SD / SLB 12 orang dan tidak tamat SD / SLB 24 orang.
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pemetaan sosial adalah identifikasi terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) khususnya Penca maupun sumber kesejahteraan sosial (SKS) yang ada di Desa Aikmual. Serangkaian kegiatan orientasi dan konsultasi, sarasehan, dan pemetaan sosial tersebut dilakukan oleh aparat instiusi sosial baik pusat, propinsi dan kabupaten. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ujicoba model adalah: kader RBM, aparat desa, pemuka masyarakat, aparat kecamatan, aparat PUSKESMAS, dan instansi sosial baik kabupaten maupun propinsi. Uji coba model ini dilaksanakan di balai desa dan rumah kepala desa.
Mereka juga berpendapat, Penca juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 : Setiap warga negara berhak atas taraf kehidupan yang layak sesuai harkat dan martabatnya. Mereka juga menyatakan setuju jika kepada Penca dilakukan pemberdayaan secara terencana dengan dukungan dana dan peralatan yang memadai serta kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya, mereka juga setuju jika kepada para Penca dilakukan pendataan, yang dengan pendataan itu diketahui jumlah penca, jenis kecacatan mereka, kebutuhan yang diperlukan dan permasalahan sosial yang mereka dihadapi. SKS yang ada di Desa Aikmual antara lain: TKSM / PSM, Karang Taruna, Orsos (Panti Asuhan Anak, Panti Lanjut Usia), dan lembaga keagamaan Islam-Pondok Pesantren. Di samping itu, juga tersedia tenaga profesional dokter. Selanjutnya, menurut kader RBM, dalam upaya pemberdayaan Penca dibutuhkan pembekalan / pelatihan keterampilan secara memadai dan setelah itu diberikan bantuan stimulan sebagai modal awal usaha, yang dapat berwujud peralatan kerja ataupun bantuan finansial.
Menurut mereka sumber dana dapat berasal dari : Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten maupun dari swadaya masyarakat. Dalam uji coba model, kepada Penca diberikan berbagai jenis bimbingan, yaitu kesehatan, sosial, dan keterampilan. Menurut Penca jenis-jenis bimbingan tersebut dirasakan masih kurang, karena mereka belum memperoleh informasi secara jelas dan lengkap, tidak memperoleh alat bantu yang diperlukan sesuai tingkat kecacatan mereka, dan tidak memperoleh peralatan usaha maupun modal usaha. Namun demikian, menurut mereka, pelaksanaan uji coba model berjalan cukup baik karena ada kerjasama yang baik aparat desa, kecamatan / Puskesmas, instansi sosial kabupaten, instansi sosial propinsi dengan pemuka masyarakat. Pemuka masyarakat, pengurus Osos, dan aparat desa menyatakan sangat setuju jika mereka harus mengambil peran dalam penanganan permasalahan penca, dan mereka semua menyatakan terlibat (berpartisipasi) dalam kegiatan ujicoba model.
Bentuk partisipasi mereka bervariasi, antara lain : penyebaran informasi, memberikan motivasi, mengantar dan menjemput penca pada saat pelaksanaan ujicoba model. Selanjutnya, hasil wawancara mendalam dengan penca diperoleh informasi, uji coba model cukup bermanfaat bagi mereka. Dari pelaksanaan uji coba model, terdapat perubahan yang significant dari penca. Hal ini terlihat dari 37 penca peseta ujicoba model dari hasil moniring dan evaluasi yang dilakukan, terdapat 25 orang penca yang dinilai terjadi perubahan sikap dan prilaku sosial, yaitu kemauan mereka mengikuti kegiatan sehari-hari dalam masyarakat, disamping itu juga mulai ada motivasi untuk maju dan menyejajarkan diri dengan warga masyarakat yang tidak cacat.

Mereka mengharapkan, setelah selesai mengikuti kegiatan RBM mereka diberikan bantuan stimulan yang dapat berupa peralatan maupun bantuan finansial sebagai modal awal usaha. Hal ini sejalan dengan harapan pemuka masyarakat, pengurus Orsos, dan aparat desa bahwa setelah kegiatan RBM kepada peserta RBM diberikan bantuan stimulan karena pada umumnya mereka adalah miskin. Faktor pendukung dalam pelaksanaan uji coba model antara lain : dukungan dari pemuka masyarakat, aparat desa, dan aparat instansi terkait, serta kerjasama yang baik unsur pemuka masyarakat dengan aparat desa, kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.


3.1.  Mengembangkan Sistem Sosial yang Responsif
Respon dari masyarakat terhadap masalah sosial, dapat berupa tindakan kolektif dan tindakan antisipatif.
Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif. Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
Penanganan masalah sosial dalam masyarakat sendiri dalam banyak hal.
Sosiatri adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari kelainan-kelainan kehidupan di dalam masyarakat. Kelainan-kelainan tersebut dapat berupa kelainan pada struktur, kelainan pada relasi sosial, dan kelainan dalam proses perkembangan masyarakat. Identifikasi terhadap kelainan dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya masalah yang lebih serius, menangani masalah dengan cepat, dan membantu masyarakat terlepas dari masalah yang dihadapi. Masyarakat yang dibantu keluar dari masalah atau kelainan yang dihadapi diharapkan dapat berkembang secara normal sehingga siap untuk melaksanakan pembangunan.
Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE (kelompok usaha bersama)


1.2.       Pemanfaatan Modal Sosial

Istilah "modal sosial" (social capital) pertama kali muncul dalam kajian masyarakat (community studies) untuk menunjukkan pentingnya jaringan hubungan pribadi yang kuat dan dalam (crosscutting), yang berkembang perlahan-lahan sebagai landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan tindakan kolektif dari komunitas yang bersangkutan. Jaringan ini menentukan bertahannya dan berfungsinya sebuah kelompok masyarakat. Walaupun pada awalnya kajian tentang modal sosial ini lebih merupakan upaya untuk memahami kehidupan kelompok-kelompok penduduk perkotaan dan para penghuni daerah-daerah kumuh (slums), dalam perkembangan selanjutnya teori tentang modal sosial banyak membantu para peneliti kajian organisasi (organization studies) dan praktisi bisnis.

Teori tentang modal sosial menyatakan bahwa jaringan hubungan merupakan sebuah sumber daya yang dapat digunakan untuk pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Para anggota jaringan memiliki “modal”, misalnya dalam bentuk hak istimewa (credential) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, akses ke informasi, ketersediaan peluang,dan status sosial.

Dari berbagai penelitian dikenal adannya tiga dimensi dari modal sosial, yaitu dimensi struktural, relasional, dan kognitif. Ketiganya saling berkaitan dan dalam kenyataannya tak mudah dipisahkan. Pemisahan ketiganya hanya perlu dilakukan untuk kepentingan analisis. Penjelasan lebih rinci adalah sebagai berikut:

·      Dimensi Struktural menyangkut pola hubungan antar anggota jaringan yang dapat dilihat dari konfigurasi, hirarki, dan sebagainya.

·      Dimensi Relasional merujuk kepada sifat hubungan (misalnya rasa hormat, saling menghargai, dan persahabatan) yang menentukan perilaku anggota jaringan.

·      Dimensi Kognitif mengacu kepada berbagai sumberdaya yang menyediakan simbol komunikasi, cara interpretasi, dan sistem artian yang dipakai bersama oleh anggota jaringan.

Keberadaan modal sosial sebagai mana dijelaskan di atas mempengaruhi kinerja orang perorangan maupun organisasi secara keseluruhan. Modal sosial dapat meningkatkan efisiensi tindakan. Misalnya, jaringan hubungan sosial, meningkatkan efisiensi penyebaran informasi dengan mengurangi keterulangan (redundancy). Selain itu, rasa saling percaya dapat menghapus oportunisme dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan pemantauan yang mahal ongkosnya. Dengan demikian, modal sosial mengurangi biaya transaksi. Selain itu, modal sosial juga membantu anggota jaringan beradaptasi, belajar, dan menjadi kreatif. Ini dimungkinkan oleh perilaku kooperatif setiap anggota jaringan, sehingga anggota yang kreatif mendapat dukungan penuh dari rekannya.
1.3.   Pemanfaatan Institusi Sosial:

Institution (pranata) adalah sistem norma atau aturan yang menyangkut suatu aktivitas masyarakat yang bersifat khusus. Sedangkan institute (lembaga) adalah badan atau organisasi yang melaksanakannya.

Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial yaitu :

a)        Nilai dan norma;
b)        Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum;
c)        Sistem hubungan yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.


3.3.a. Organisasi Masyarakat

Dengan adanya organisasi dalam masyarakat diharapkan mampu menyalurkan aspirasi dan kepentingan anggota masyarakat yang diwadahi oleh organisasi masyarakat tersebut. di samping itu dengan adanya organisasi akan memudahkan masyarakat untuk menyalurkan suara dibandingkan dilakukan dengan sendiri-sendiri. Dengan struktur organisasi dengan pembagian tugas yang jelas ke masing-masing pengurus organisasi maka keruwetan pekerjaan organisasi dalam mencapai tujuan pun dapat dihilangkan. Contohnya : Institusi masyarakat lokal, PMI  (Palang Merah Indonesia ), LSM (Lembaga Sosial Indonesia).

3.3.b. Organisasi Swasta

Organisasi swasta ini biasanya dibangun oleh perusahaan. Misalnya :

·         Panti

·         Yayasan sosial

·         Program CSR (Coorporate Social Responsibility)

·         LSM

·         Kelompok Usaha Bersama (KUBE)

·         Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
3.3.b. Optimalisasi Konstribusi dalam Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial untuk masyarakat miskin harus ditingkatkan lagi terutama dalam masalah kesehatan. Banyak warga miskin yang sakit namun dibiarkan begitu saja karena tidak mampu berobat atau tidak punya biaya, dengan adanya program ASKESKIN dari pemerintah sudah cukup membantu masyarakat miskin namun program ini belum berjalan dengan baik masih banyak kendala-kendala seperti di nomor dua kan atau pelayanan di perlambat karena menggunakan ASKESKIN. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin harusnya diutamakan karena sudah ditetapkan oleh pemerintah dengan program JAMKESMAS, melalui program ini telah mendorong Rumah Sakit lebih sadar biaya dan sadar mutu pelayanan. Manajemen rumah sakit telah terdorong melakukan cost containment, dokter lebih patuh membuat diagnosa dengan benar, resume medis, pengendalian penggunaan obat dan bahan habis pakai. Program kesehatan ini harus diperbaiki lagi entah dengan cara membangun suatu rumah sakit khusus masyarakat miskin atau dengan adanya dorongan dari masyarakat lain untuk mengefisiensikan program ASKESKIN dan JAMKESMAS supaya berjalan dengan baik.
3.3.c. Kerjasama dan Jaringan
Kerjasama dan Jaringan dalam mendukung pelaksanaan strategi nasional penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada pendekatan hak-hak dasar, maka diperlukan data dan informasi baru yang dapat menggambarkan kondisi dan tingkat pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.Pemahaman terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin.
Upaya yang perlu ditempuh untuk memperkuat kapasitas kementerian/ lembaga dalam monitoring dan evaluasi penanggulangan kemiskinan adalah:
1) Membangun sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu dengan memperhatikan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
2) Melaksanakan pengumpulan, pengolahan dan penyajian informasi secara reguler dan terpilah dengan memperhatikan pemenuhan hak-hak dasar miskin.
3) Mengembangkan standardisasi tentang indikator, variabel dan data yang relevan dengan kondisi dan tingkat pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin
4) Memperluas kesempatan bagi berbagai pihak untuk mengakses data dan informasi tentang kondisi dan tingkat pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
5) Melakukan survai secara reguler tentang tingkat kepuasan penerima layanan.


2.        Upaya Penanganan Masalah
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan social terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip in dikenal dengan pendekatan “person in environment dan person in situation”.
Seperti yang telah dijelaskan diatas Depsos sebagai suatu instansi memiliki pula beberapa agenda yang memang merupakan disiapkan untuk menekan angka kemiskinan, diantara program kerja Depsos yang telah terealisasi yang menurut Edi Suharto, Phd adalah strategi pendekatan pertama yaitu pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi :
  1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi social yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial.
  2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
3.      Bekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan swadaya dan pemberdayaan usaha miro, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan, dan lain-lain.
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam beberapa strategi, diantaranya :
  1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
  2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
  3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
  4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE (kelompok usaha bersama)
BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah bahwa kasus kemiskinan yang terjadi marak ini adalah salah satu kasus yang harus lebih diperhatiakan. Kurang tanggap nya pemerintah dan masyarakat setempat dalam kasus kemiskinan ini juga dapat menjadikan masalah ini tidak dapat teratasi, diperlukan partisipasi masyarakat setempat dan pemerintah sebagai kekuatan dinamisasi dan perekat masyarakat akar rumput untuk menunjang pembangunan. Pemberdayaan memberi ruang bagi pengembangan keberagaman kemampuan masyasakat miskin dimana satu sama lain akan saling melengkapi. Jadi dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan bukanlah jumlah bantuan yang diutamakan tetapi bagaimana menggerakkan partisipasi masyarakat sehingga menciptakan pembangunan yang berbasis kepada masyarakat.
Di atas telah dikemukakan secara teoritis tentang pentingnya pemberdayaan dalam mengatasi kemiskinan. Artinya ia harus dirubah menjadi berfungsi sosial yakni mampu menampilkan peran dan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Si miskin tidak semata-mata ditingkatkan ekonominya tetapi yang lebih penting ia dilatih diberdayakan untuk mampu berperan dalam lingkungan sosialnya.
Kemiskinan yang mereka alami memang tidak hanya sebatas kemiskinan secara ekonomi, melainkan juga kemiskinan non-ekonomi seperti terbatasnya akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan, produktifitas yang rendah, nilai tukar yang rendah dari komoditi yang dihasilkan serta terbatasnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dan itu tidak dapat diselesaikan hanya dengan pembangunan ekonomi atau bantuan finansial, melainkan yang lebih utama pemberdayaan agar mereka dapat mandiri dan mengubah nasibnya sendiri seperti yang ingin dicapai dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) adalah suatu prakarsa baru Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi persoalan kemiskinan di perdesaan. Program ini dirancang dengan pengertian, untuk menanggulangi kemiskinan secara berlanjut, upaya-upaya yang paling penting harus dilakukan oleh komunitas sendiri, terutama pada tingkat perdesaan dan perkotaan. Pemberdayaan komunitas ini termasuk menangani masalah kemiskinan juga terbentur inarticulate secara politik. Sebagian besar desa-desa yang terpencil atau perkampungan tidak terlihat oleh elit pemerintah. Menyediakan sumber daya yang cukup, memindahkan pembuat keputusan dan tanggung jawab ke tangan komunitas sendiri, meningkatkan kepercayaan dan transparansi. Oleh karena itu unsur perkuatan organisasi antar dan intra masyarakat dalam program mendapat perhatian khusus. Ini diwujudkan dalam bentuk pendampingan, counselling dan pelatihan. Maka dari itu peran organisasi masyarakat, swasta, pemerintah dalam kerjasama untuk mengurangi kasus kemiskinan pun sangat diperlukan.
BAB 4
PENUTUP

          Demikian makalah ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan yang disengaja maupun tidak. Semoga makalah ini dapat mudah dipahami dan diterima oleh semua kalangan. Akhir kata saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.


REFERENSI :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar